Senin, 10 April 2017

Kisah sahabat Nabi Umar bin Khaththab

Biografi Sahabat Nabi Umar Bin Khaththab : Ciri Fisik & Nasabnya (Seri 1)

A.    ASAL-USUL DAN GAMBARAN FISIK UMAR SERTA KEISLAMANNYA

1. Nama, nasab, dan kelahiran Umar
Di serambi Mekah, dengan cuaca yang panas, anginnya yang menderu-deru, padang sahara yang luas, tiga belas tahun setelah peristiwa gajah, lahirlah Umar bin Khaththab bin Nufail bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurzhu bin Razah bin Adi Al-Qurasyi.
Ayahnya Khaththab bin Nufail Al-Adawi adalah orang yang berwatak keras dan memiliki tabiat yang kuat. Sedang Ibunya bernamah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah bin Abdullah bin Umar bin Makhzum, sepupu dari Abu Jahal.
Umar tumbuh di bawah asuhan ayahnya sehingga dia mewarisi watak keras sang ayah yang tak kenal rasa takut, keras hati, tidak setengah-setengah dalam melakukan sesuatu.

2. Gambaran fisik dan sifat Umar serta kedudukannya dikalangan Quraisy
Umar adalah laki-laki berkulit coklat, kedua tangannya aktif sehingga dapat melakukan pekerjaan dengan keduanya, memiliki sosok yang kuat, ukuran tubuh yang tinggi besar. Tinggi badannya jauh di atas rata-rata. Jika dia berada di kerumunan nampak seolah dia sedang menunggangi sesuatu yang lain berjalan kaki, Umar berkumis lebat, jalannya cepat, suaranya besar, dan pukulannya amatlah keras.
Kekuatan fisik dan kesatriannya amatlah prima, sampai-sampai dia sanggup naik ke atas kuda hanya dengan berpegang pada telinga kuda.

Umar merupakan salah satu orang terpandang dan pemuka kaum Quraisy. Dia sering dipercaya sebagai juru damai apabila terjadi peperangan antar sesama kaum Quraisy atau antara suku Quraisy dengan yang lain. Telah menjadi kebiasaan bangsa Arab, pada saat hendak berdamai masing-masing pihak yang bertikai mengutus seseorang sebagai juru damai. Masing-masing juru damai akan membanggakan pihaknya sampai akhirnya tercapai kesepakatan damai. Kaum Quraisy sangat menaruh kepercayaan pada Umar bin Khaththab untuk mewakili mereka sebagai juru damai.
Di samping itu, Umar memiliki jiwa yang bersih secerah langit Mekah, hati yang tulus tidak berbelok-belok laksana padang pasir yang luas, keteguhan hati yang kokoh laksana gunung, dan sifat yang mulia seterang bintang di langit.

3. Keislaman Umar
Ketika Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam mulai berdakwah mengajak semua orang yang beriman hanya kepada Allah dan meninggalkan penyembahan terhadap berhala, Umar memposisikan dirinya sebagai penentang dakwah Rasulullah tersebut.
Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menyimpan harapan agar suatu saat Umar masuk Islam, melihat kekuatannya yang luar biasa dan kelebihannya dibandingkan orang-orang sebayanya. Maka Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pernah memanjatkan doa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, “Ya Allah perkuatlah Islam dengan salah satu dari orang yang lebih Engkau sukai: Umar bin Khaththab atau Abu Jahal bin Hisyam.” Dan ternyata yang lebih disukai oleh Allah dari mereka berdua adalah Umar bin Khaththab.

Dakwah pun semakin meningkat dan semakin meluas hinggah merubah pandangan Umar. Berikut ini adalah penuturan Umar sendiri bagaimana awal mula masuknya sinar Al-Qur’an ke dalam hatinya yang sebelumnya tertutup sangat rapat,
“Waktu itu saya keluar untuk merintangi Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Ternyata beliau telah mendahuluiku berjalan ke arah masjid. Saya pun membuntutinya. Lantas beliau membaca surat Al-Haqqah, membuatku takjub akan keindahan Al-Qur’an. Maka saya mengatakan, “Dia benar-benar penyair sebagaimana disebut-sebut kaum Quraisy.” Maka beliau membaca, “Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) itu benar-benar wahyu (yang turun kepada) Rasal yang mulia, Dan ia (Al-Qur’an) bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya.”(QS. Al-Haqqah [69]: 40-41). Lalu saya berkata, “Dia adalah seorang penyihir.” Beliau membaca, “Dan bukan pula perkataan tukang tenung. Sedikit sekali kamu mengambil pelajaran darinya. Ia (Al-Qur’an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam. Dan sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. Kemudian Kami potong pembuluh jantungnya. Maka tidak seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami untuk menghukumnya).”(QS. Al-Haqqah [69]: 42-47). Sampai akhir surat, Al-Qur’an pun mulai ,merasuki hatiku.”

Kemudian pada suatu hari Umar berpapasan dengan Ummu Abdullah binti Akhi Hatsmah yang sedang bersiap untuk hijrah ke negeri Habasyah. Umar bertanya padanya, “Apakah ini persiapan untuk berangkat wahai Ummu Abdullah?” Jawab Ummu Abdullah, “Ya. Demi Allah kami harus keluar dari negeri ini. Kalian telah menyakiti dan berbuat kasar terhadap kami, hingga Allah memberikan jalan keluar bagi kami.” Umar berkata, “Semoga Allah menyertai kalian.”

Peristiwa inilah yang menjadi peringatan kedua di dalam hari Umar. Hampir saja cahayanya meredup dan pengaruhnya melemah, namun dia bagaikan sumbu yang apinya dinyalakan oleh seorang perempuan yang amat marah, yang tak lain saudari sepersusuan Umar yang tumbuh besar bersama di lingkungan yang sama.

Selanjutnya pada suatu hari yang amat panas, Umar keluar dari rumahnya bergegas menuju rumah shahabat Al-Arqam, tempat Rasulullah biasanya berkumpul dengan para shahabatnya. Hari itu Umar berniat akan membunuh Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam. Di tengah perjalanan dia berpapasan dengan Nu’aim bin Abdullah An-Nahham yang waktu itu telah masuk Islam namun menyembunyikan keislamannya karena khawatir akan diusir oleh kaumnya. Nu’aim lalu bertanya padanya, “Hendak kemanakah engkau wahai Umar?”

Umar menjawab, “saya mau menemui Muhammad, orang yang telah meninggalkan agamanya, mencerai-berai urusan kaum Quraisy, membuyarkan impian mereka, menghina agama mereka, dan mencaci tuhan-tuhan mereka. Saya akan membunuhnya.”

Nu’aim berkata padanya, “Engkau telah memperdaya dirimu sendiri wahai Umar. Apakah menurutmu Bani Abdi Manaf akan membiarkanmu hidup jika engkau membunuh Muhammad?”

Umar berkata, “Menurutku engkau telah berpaling dan telah meninggalkan agama lamamu!”

Nu’aim balas mengatakan, “Kenapa engkau tidak kembali saja ke keluargamu untuk menyelesaikan urusan mereka?”

Umar bertanya, “Siapakah keluargaku yang engkau maksud?”

Nu’aim menjawab, “Saudara iparmu yang juga sepupumu Sa’id bin Zaid bin Amr, dan saudarimu Fatimah binti Khaththab. Demi Allah, mereka telah masuk Islam dan menjadi pengikut Muhammad. Kenapa engkau tidak mengurus mereka saja!”

Umar pun langsung berbalik dan bergegas pergi ke rumah saudarinya Fatimah dan suaminya. Saat itu, keduanya sedang kedatangan Khabbad bin Art yang membawakan lembaran yang bertuliskan surat Thaha untuk dibacakan pada keduanya. Ketika mereka mendengar gerakan Umar, Khabbad langsung bersembunyi di kamar, sedangkan Fathimah langsung mengambil lembaran berisi surat Thaha dan menyembunyikannya di bawah pahanya. Sementara itu Umar sempat mendengar gumaman khabbad saat dia mendekati rumah mereka.

Ketika Umar menerobos masuk, dia langsung bertanya, “Surat apa yang baru saja saya dengar?”

Keduanya menjawab serempak, “Engkau tidak mendengar apa-apa.”

Umar menukas, “Tidak, demi Allah, aku mendengar kabar bahwa kalian berdua telah mengikuti agama Muhammad.” Tanpa pikir panjang Umar langsung menyergap saudara iparnya, Sa’id bin Zaid. Melihat itu Fatimah langsung bangun dan bergerak ke arah Umar berusaha melepaskan suaminya dari sergapan Umar. Tapi Umar langsung memukulnya hingga melukainya.

Mendapat perlakuan kasar dari Umar, keduanya lalu berkata, “Ya, kami telah masuk Islam dan telah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan!”

Saat itulah, ucapan saudari dan iparnya itu menghujam ke dalam hati Umar saat dia sedang berada di puncak kemarahannya. Terkoyaklah penutup hatinya dan sikapnya langsung berubah menjadi lemah lembut. Dia pun melepaskan Sa’id bin Zaid dan menyesali tindakannya. Dia lalu memohon pada saudarinya, “Berikan padaku lembaran yang baru saja kalian baca itu agar aku dapat melihat apa yang dibawa oleh Muhammad.

Mendengar itu, fatimah segera menjawab, “Kami khawatir engkau akan merusaknya.”

Umar berkata, “Jangan takut.” Dia pun bersumapah dengan nama tuhan-tuhannya bahwa dia akan mengembalikan lembaran tersebut jika diizinkan untuk membaca isinya.”

Pada detik itu muncul harapan pada diri Fatimah terhadap keislamannya Umar. Dia pun langsung mengatakan pada Umar, “Wahai Saudaraku, engkau masih najis karena kemusyrikanmu, sedang lembaran itu hanya boleh disentuh oleh orang-orang yang suci.”

Umar pun langsung bangun untuk membasuh dirinya. Setelah itu, barulah Fatimah menyerahkan lembaran tersebut padanya. Umar langsung membacanya, “Thaha. Kami tidak menurunkan Al-Qur’an ini kepadamu (Muhammad) agar engkau menjadi susah; melainkan sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), diturunkan dari (Allah) yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi, (yaitu) Yang Maha Pengasih, yang bersemayam di atas ‘Arsy. Milik-Nyalah apa yang ada di langit, apa yang ada di bumi, apa yang ada di antara keduanya, dan apa yang ada di bawah tanah. Dan jika engkau mengeraskan ucapanmu, sungguh, Dia mengetahui rahasia yang telah tersembunyi. (Dialah) Allah, tidak ada tuhan selain Dia, yang mempunyai nama-nama yang baik.”(QS. Thaha [20]: 1-8). Dia membacanya dengan hati berdebar dan tubuh gemetar, dengan penuh kekhusyukan dan perlahan. Hingga dia sampai pada ayat, “Sungguh, aku ini Allah, tidak ada tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku dan laksanakan shalat untuk mengingat-Ku.” (QS. Thaha [20]: 14). Baru saja dia selesai membaca ayat tersebut, dia langsung berujar, “Alangkah indah dan mulianya ungkapan ini! Tunjukkan aku di mana Muhammad.”

Mendengar itu, Khabbad langsung keluar dari persembunyiannya. Dia langsung berkata pada Umar, “Wahai Umar, demi Allah, sesungguhnya aku berharap Allah mengkhususkan engkau dengan doa Nabi-Nya. Sungguh saya kemarin mendengar Rasulullah berkata. “Ya Allah, perkuatlah Islam dengan Abu Al-Hikam bin Hisyam atau dengan Umar bin Khaththab.” Allah pasti mengabulkan doanya wahai Umar.

Umar pun berkata padanya, “Kalau begitu, tunjukkan padaku dimana Muhammad wahai Khabbad agar aku bisa menemuinya dan mnyetakan keislamanku,”

Khabbad menjawab, “Beliau di sebuah rumah di Shafah bersama beberapa shahabatnya.”

Umar memungut pedangnya dan menyandangnya. Lalu dia bergegas menemui Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam dan para shahabatnya. Sesampainya disana Umar langsung menggedor pintu rumah. Mendengar itu, salah seorang shahabat Rasulullah segera bangun dan mengintip dari pintu. Nampaklah olehnya Umar sedang menyandang pedangnya. Dia segera menemui Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam melapor sambil ketakutan, “Wahai Rasulullah yang datang adalah Umar bin Khaththab sambil menyandang pedang!”

Hamzah bin Abdul Mutthalib berkata, “Izinkanlah dia masuk. Jika dia datang menginginkan kebaikan, akan kita berikan padanya kebaikan itu. Jika dia datang menginginkan keburukan, akan kita bunuh dia dengan pedangnya itu.”

Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam pun berkata, “Izinkan dia masuk.” Salah seorang dari mereka membukakan pintu dan mempersilahkan Umar masuk. Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam lalu bangkit untuk menemuinya di sebuah ruangan. Beliau langsung menarik baju Umar dengan kuat dan berkata, “Apa yang membuatmu datang kesini wahai Ibnu Khaththab? Demi Allah, menurutku engkau tidak akan berhenti sampai Allah menurunkan bencana atasmu!!”

Umar segera menjawab, “Wahai Rasulullah, aku datang padamu untuk menyatakan keimananku pada Allah dan rasul-Nya serta pada apa yang dibawanya dari sisi Allah.”

Serta merta Rasulullah meneriakkan takbir. Mendengar itu seisi rumah pun tahu bahwa Umar telah masuk Islam.

Akhirnya Umar bergabung bersama 40 orang yang telah lebih dahulu beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Peristiwa itu terjadi pada tahun keenam kenabian.

4. Mendapat julukan Al-Faruq
Di hari saat Umar bin Khaththab menyatakan keislamannya, dia berdiri di hadapan Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam seraya berkata, “Wahai Rasulullah, bukankah kita berada di jalan yang benar apabila kita mati ataupun hidup?”

Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam menjawab, “ Benar, demi Dzat Yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, sesungguhnya kalian berada pada jalan yang benar apabila kalian mati ataupun hidup.”

Umar lalu berkata, “Kalau begitu kenapa kita harus bersembunyi? Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan kebenaran Islam, kita harus keluar!”

Maka kami pun keluar dalam dua barisan. Hamzah berada dalam satu barisan, sementara Umar dalam barisan yang lain. Derap langkah kaki mereka menerbangkan pasir jalanan yang mereka lalui, sampai akhirnya mereka masuk ke dalam Masjidil Haram.

Umar berkata, “Kaum Quraisy melihat saya dan Hamzah, mereka pun merasakan kekuatan yang sebelumnya mereka rasakan, maka pada hari itu Rasulullah Shallallahu Alahi wa Sallam memberiku julukan Al-Faruq.”

5. Menampakkan keislamannya
Umar melaksanakan keislamannya dengan kualitas yang prima, dia memperlihatkan keislamanya dengan suara yang menggelegar hingga menusuk-nusuk telinga kaum musyrikin. Umar berkata, “Demi Allah, di setiap majlis yang dulu aku sering datangi pada saat aku masih kafir, aku menampakkan keislamanku tanpa merasa takut dan khawatir.”

Dia pun dengan sengaja pergi ke rumah Abu Jahal, mengetuk pintu rumahnya. Saat ditanya, “Siapa di luar?” Dia menjawab dengan lantang, “Umar bin Khaththab, sungguh saya telah masuk Islam.” Abu Jahal langsung membanting pintu di hadapan wajahnya. Lalu Umar pergi menemui pemuka Quraisy yang lainnya dan melakukan hal yang sama. Hingga dia bertanya-tanya dalam dirinya, “Ada apa ini, kaum muslimin lain mengalami berbagai gangguan, kenapa saya tidak?”

Hingga dia meminta pada seseorang yang biasa menyebar berita di kalangan Quraisy untuk menyiarkan berita keislamannya. Orang itu bernama Jamil bin Ma’mar Al-Jumahi. Umar mendatanginya dan berkata padanya, “Apakah kamu sudah tahu wahai Jamil, bahwa saya sudah masuk Islam. Saya sudah menjadi pengikut agama Muhammad!”
Jamil tidak menunggu Umar mengulangi ucapannya, langsung bangkit menarik gamisnya dan berdiri di depan pintu Masjidil Haram lalu berteriak sekencang mungkin, “Wahai masyarakat Quraisy, ketahuilah bahwa Umar telah menyimpang!” Umar berkata di belakangnya, “Bohong, yang benar adalah aku telah masuk Islam dan aku telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.”

Orang-orang Quraisy yang berada di sana langsung menyerang Umar. Mereka pun terlibat perkelahian sampai tengah hari dan Umar merasa kelelahan. Umar lalu duduk seraya berkata, “Silahkan lakukan apa saja yang ingin kalian lakukan! Saya bersumpah dengan nama Allah, jika kami ada berjumlah 300 orang, maka kami akan meninggalkan tanah ini untuk kalian atau kalian yang meninggalkan tanah ini untuk kami.”

Abdullah bin Mas’ud menggambarkan besarnya peran keislaman Umar dalam mendukung Islam dan kaum muslimin, “Islamnya Umar menjadi pembuka jalan, hijrahnya menjadi penolong, kepemimpinannya menjadi rahmat. Saya sempat mengalami bahwa kami kaum muslimin tidak bisa shalat di Baitullah, hingga Umar masuk Islam. Ketika Umar masuk Islam, dialah yang menghadapi kaum musyrikin Quraisy hingga akhirnya kami dibiarkan shalat di sana.”

#artikel ini Di lihat dari kisah nabi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar